Pengamat Politik, Taufiq A Rahim, SE, M.Si, Ph.D kembali menjadi narasumber peHTem edisi Senin, 4 November 2023 episode ke 31 Tahun ke IV dengan tema: Disharmonisasi Antara Eksekutif dan Legislatif Benarkah Rakyat Menjadi Korban? yang dipandu oleh host Siti Aminah, S.IP, M.MLS Jangan lupa like share comment and subscribe.

Pembangkangan Terhadap Keberlangsungan Ekonomi Rakyat

Tindakan Mengalihkan Areal Produktif Untuk Diperuntukan Pada Pembangunan Fisik Di Aceh

IlustrasiIlustrasi
A A A

Pemerintah Aceh sudah bisa berfikir untuk tidak mengganggu areal produktif untuk dialihkan kepada pembangunan fisik dan biar menjadi contoh buat daerah lain

Dr. Zainuddin, SE, M.Si Akademisi Universitas Serambi Mekkah

DALAM pandangan ekonomi bahwa area produktif (subur) harus diperlakukan sebagai are produksi dalam bidang pertanian dan area non produktif (tidak subur) bisa diperlakukan sebagai area pembangunan fisik. Bagaimana kontrol yang bisa dilakukan pemangku kepentingan dalam hal ini, yaitu adanya instrument Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang bisa diterapkan dan memiliah mana lahan produktif dan mana lahan tidak produktif serta lembaga ini sudah ada dalam birokrasi pemerintahan di Indonesia pada umumnya dan di provinsi Aceh khususnya. Akan tetapi mengenai pertimbangan yang dimaksud tidak termasuk dalam katagori pertimbangan untuk pemberian izin sejauh pengamatan penulis dan maaf jika salah.

Sebelumnya, mari kita coba memotret kehidupan ekonomi rakyat aceh pada umumnya, sepertinya masih sangat relevan dinyatakan bahwa perekonomian rakyat Aceh adalah bersifat agraris yang memerlukan lahan subur  untuk bercocok tanam. Berdasarkan pertimbanga tersebut, maka dapat dinyatakan bahwa kemakmuran ekonomi rakyat Aceh sangat ditentukan oleh luas lahan subur yang tersedia atau luas area pertanian sangat menentukan kemakmuran rakyat itu sendiri.

Dengan demikian, menjadi sangat penting kiranya melakukan pemetaan area lahan dalam pembangunan itu sendiri untuk diperuntukan sebagai tempat pembangunan fisik atau pemukiman dan area lahan yang diperuntukan sebagai tempat bercocok tanam bagi masyarakat, dan ini semua sebenarnya sudah ada badan yang bisa memanage lewat pemberian surat izin membangun yang dimiliki oleh penyelenggara pemerintahan, tetapi lagi-lagi sejauh mata memandang sepertinya tidak jalan.

Adanya pengalihan lahan produktif kepada pembangunan fisik secara besar-besaran di Aceh bukan hanya dilakukan oleh masyarakat secara privat semata tetapi pemangku kepentingan alias kebutuhan pemerintah pun melakukan secara membabi buta menimbun area persawahan untuk membangun pembangunan fisik, seakan-akan ada kesengajaan mematikan mata pencarian masyarakat yang berprofesi tani. Banyak contoh gedung-gedung pemerintah di Aceh yang mengorbankan area persawahan demi terlihat megah dan wah, padahal itu tidak baik dalam pandangan ekonomi karena masih ada pilihan ditempat lain dan hal seperti ini bisa mendapat izin untuk membangun, mungkin para pemberi izin sangat minim wawasan ekonominya atau sengaja tidak mau tau. Memang rakyat mendapatkan uang ganti rugi tetapi pada hakikatnya menimbun area sawah untuk pembangunan fisik itu sebuah pembangkangan terhadap ekonomi rakyat itu sendiri terkecuali ada tindakan pengadaan pengganti alias mencetak sewah baru.

Selanjutnya, dikarenakan kebutuhan pemangku kepentingan sudah tak peduli atas keberadaan area produktif, maka dengan sendirinya para pengembang atau orang pribadi dengan sengaja membangun di atas lahan produktif. Oleh sebab itu, bukan tidak mungkin pada suatu ketika provinsi Aceh akan menderita dengan minimnya produksi padi yang nyata-nyata sebagai kebutuhan pokok masyarakat. Dan ada suatu nilai yang berlaku apabila terus menerus dilakukan peruntukan lahan produktif kepada pembangunan fisik adalah seakan-akan profesi tani itu tidak memiliki nilai lebih atau tidak menjanjikan, padahal rata-rata kemampuan rakyat adalah hanya pada sebatas bercocok tanam dan bila ini terjadi, maka generasi muda tidak mau lagi bertani dan pada akhirnya semua kebutuhan pokok harus didatangkan dari luar alias impor.

Dengan demikian, pemerintah Aceh sudah bisa berfikir untuk tidak mengganggu area produktif untuk dialihkan kepada pembangunan fisik dan biar menjadi contoh buat daerah lain, yaitu pembaungan fisik terus digenjot tetapi area persawahan tetap dipertahankan. Tidak adak kata terlambat untuk sebuah kebaikan dan bila pelu dilakukan larangan menimbun area sawah dengang alasan apapun termasuk jalan sekalipun, kecuali kebutuhan untuk petani itu sendiri.

Kenapa bisa menjadi pembangkangan ekonomi rakyat dengan menimbun sawah untuk dialihkan kepada pembangunan fisik karena kualifikasi ekonomi rakyat Aceh adalah bertani, jika pun sudah diganti rugi itu hanya dirasakan oleh pemilik sawah saja sedangkan untuk kegiatan ekonomi rakyat pada umumnya terganggu dan bahkan tidak ada lagi mata pencaharian, semisal buruh tani atau pekerja tani. Tulisan ini hanya sebuah mukadimah pendek untuk membuka wawasan kita untuk pentingnya mempertahankan warisan leluhur dalam menciptakan kemakmuran bersama, dan mohon maaf jika tidak berkenan. Aceh lon sayang.

*) Penulis: Dr. Zainuddin, SE, M.Si
[Akademisi Universitas Serambi Mekkah]

Rubrik:OPINI

Komentar

Loading...