Sederet Masalah yang Ganjal Perkembangan Industri Baja RI

JAKARTA - Pemerintah menyinggung sederet persoalan yang mengganggu perkembangan industri baja di Indonesia. Pertama, masalah harga gas industri yang masih tinggi
Dirjen Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Harjanto menyatakan harga gas di Indonesia kalah murah dibanding negara lain. Besarnya beban energi ini membuat industri baja tercekik.
"Kami melihat bahwa salah satu yang membuat industri baja nggak kompetitif karena harga energi nggak kompetitif. Di luar negeri gas murah, di Indonesia US$ 9-12 per mmbtu. Di luar negeri bahkan ada yang cuma US$ 1 atau US$ 3 per mmbtu," ucap Harjanto dalam rapat dengan Komisi VI DPR di Jakarta, Senin (16/12/2019).
Kedua adalah terkait dengan limbah. Harjanto menjelaskan semua sisa-sisa produksi baja akan masuk ke dalam kategori limbah B3. Masalahnya, untuk memindahkan limbah tersebut dibutuhkan usaha yang besar termasuk biaya tambahan.
"Jadi orang proses baja hasilkan slag, nah di Indonesia ini masuk limbah B3. Ini jadi cost untuk menumpuk slag-nya. Kadangkala ini jadi problem saat mau ditransportasikan juga, karena mobilnya khusus, belum bayarnya," ucap Harjanto.
Ketiga, pabrikan baja lokal kurang inovasi. Kebanyakan mesin-mesin yang digunakan pabrikan lokal tidak berkembang.
"Selain itu kita tahu bersama kualitas produk dikaitkan mesin di dalam negeri tidak berkembang. Industri harus bebenah diri munculkan inovasi, selama ini mereka cuma manufacturing aja nggak ada kemajuan," ucap Harjanto.
Komentar