Menjadi Instruktur PII

Di PII lah mereka melatih diri untuk menjadi pribadi yang baik, yang mampu memahami Islam secara kaffah, dan menyiapkan diri menjadi pemimpin umat dan bangsa. Saya termasuk instruktur yang memastikan silabus nasional PII tetap dapat dilaksanakan di Aceh
Sayed Muhammad Husen Ketua Bidang Kaderisasi PW PII Aceh (1988-1990) dan Ketua Bidang Ekstern/Humas PW PII Aceh (1991-1992)
SETELAH mengikuti Coaching Instruktur Pelajar Islam Indonesia (CI PII) di SD Lamnyong tahun 1987, saya mendapat izin menjadi instruktur. Tahap awal tentu saja hanya diperbolehkan menjadi instruktur lokal (inlok), semacam wali kelas. Inlok lebih banyak lebih dominan berperan sebagai “moderator” yang mempersilakan beberapa instruktur pemateri. Kelebihan inlok hanya pada tanggung jawab mengawal perubahan peserta dari hari ke hari dan memastikan target training dapat tercapai. Sebenarnya saya ingin cepat-cepat jadi koordinator (kordin).
Pertama kali saya mendapat tugas mengelola training LBT PD PII Perguruan Tinggi di SMP Darussalam. Sebagai inlok, waktu itu, membuat saya cukup disiplin, sehingga dua menit sebelum sesi training dimulai saya harus sudah berada di lokal/kelas. Sementara peserta harus lebih disiplin lagi, sebab apabila terlambat mereka sepakat memberi “hukuman”, yang ditentukan bersama peserta. Saya ingat seorang peserta yang cukup aktif mendiskusikan isu asas tunggal Pancasila, Usamah E Madny.
Selanjutnya saya terus menerus mendapat kesempatan mengelola training LBT dan Mental Training di SDN Rukoh, MIN Lambhuk, dan Seumeureung Sibreh. Setelah tiga kali menjadi inlok, saya baru diamanahkan menjadi kordin dan instruktur materi pada banyak training seperti di Sungai Limpah Sibreh, SMP Sibreh, SMA Al Misbah, Sekretariat PII, MAN Model, SMP 5, MIN Lamlhom, SDN Lampuuk, serta lokasi training lainnya, baik training atas nama PII maupun menggunakan cover (Remaja Masjid dan Yakpida). Sempat juga menjadi inlok LAT di Rukoh dan Sekretariat PII, yang hanya diikuti belasan peserta. Pernah hadir PB PII dari Jakarta, Azwar Hasan dan Abdul Baqir Zein.
Satu hal yang cukup menantang seorang instruktur adalah harus banyak membaca, mengikuti diskusi, dan seminar-seminar. Saya merasa tertantang, sebab berhadapan dengan peserta yang pada umumnya berasal dari kalangan mahasiswa UIN, yang cukup menguasai isu-isu agama Islam. Ketika itu, tidak banyak lagi mahasiswa USK yang ikut training PII. Kelemahannya adalah, ketika saya mengelola training yang pesertanya pelajar, agak sulit juga saya menyesuaikan materinya. Saya mendengar ada kritik dari kawan-kawan, bahwa materinya agak “tinggi”, namun sulit juga saya meresponnya.
Instruktur PII harus membatasi interaksi dengan lawan jenis, terutama di arena training. Seringkali diingatkan dalam meeting instruktur, bahwa seorang instruktur tak boleh meniatkan dan berupaya mencari jodoh di arena training. Etika ini benar-benar menjadi pedoman bagi instruktur dalam setiap mengelola training, apalagi training PII belum dapat memisahkan peserta laki-laki dengan perempuan. Ada saran pemisahan peserta dari beberapa kawan, namun kesulitannya adalah tak tersedia jumlah instruktur muslimah yang memadai. Sama saja dipisah, nanti instrukturnya campur lagi.
Dalam silabus dan sistem pentrainingan PII sebenarnya tak ada konsep pemisahan peserta laki-laki dengan perempuan. Sebab, peserta training PII berasal dari berbagai sekolah dan perguruan tinggi umum dan agama. Tak membedakan antara pendidikan umum dan pendidikan agama. Di PII lah mereka melatih diri untuk menjadi pribadi yang baik, yang mampu memahami Islam secara kaffah, dan menyiapkan diri menjadi pemimpin umat dan bangsa. Saya termasuk instruktur yang memastikan silabus nasional PII tetap dapat dilaksanakan di Aceh.
Adalah hal yang cukup berkesan juga sebagai instruktur PII adalah menyesuaikan jadwal kuliah. Seringkali kuliah tercecer karena hampir sebulan penuh mengelola training pada bulan Ramadhan. Kalaupun training pada masa liburan sekolah, belum tentu juga kuliah berlangsung pada masa liburan. Begitulah instruktur yang harus mengorbankan sebagian waktunya demi kemajuan PII dan kaderisasi anak umat.
Selain seringkali harus begadang mengelola training, pulang pukul 3.00 WIB dari lokasi training, dan kadang juga merangkap sebabagai panitia pelaksana, namun instruktur harus berupaya keras menghubungi instruktur pemateri. Biasanya setelah meeting pukul 3.00 dini hari baru dapat dipastikan pemateri mana saja yang harus dihubungi untuk materi pagi hingga besok malam. Apabila pemateri tak ada yang bisa hadir, risikonya materi harus disajikan oleh inlok atau instruktur yang ada di lokasi training.
Sejak batas akhir penyesuaian PII dengan UU Nomor 8 tahun 1985 tentang Keormasan (1987), tahun-tahun berikutnya training PII tak lagi atas nama PII, namun muatan trainingnya tetap materi-materi seperti di silabus PII. Akibatnya, training PII atau nama lain seringkali berlangsung dalam suasana khawatir. Misalnya, Danramil Lhoknga yang menutup training di Lamlhom mengatakan, “Saya tahu ini pesantren kilat Remaja Masjid, namun saya tahu juga apa yang kalian ajarkan.” Artinya aparat dan pemerintah tahum bahwa PII masih mengadakan pengkaderan, maka wajar saja kawan-kawan PII merasa kurang aman.
Setelah training selesai, masih ada tanggung jawab instruktur melakukan pembinaan atau tindak lanjut pasca training. Kami sering memberi istilah manajemen pasca training. Walaupun program ini tidak cukup berhasil, namun pasti memberi dampak, misalnya berkembangnya kelompok-kelompok studi dan forum kajian di sekolah dan kampus, serta tumbuhnya banyak Remaja Masjid. Sementara instruktur PII tersebar sebagai narasumber pada berbagai kegiatan tersebut.
Selama mengelola training PII di “bawah tanah” yang sangat terasa adalah tingginya muatan perlawanan, kritik, dan sikap oposisi instruktur terhadap pemerintah Orde Baru Soeharto yang berawal dari sikap tidak demokratisnya pemerintah dalam mengesahkan UU Keormasan. Muatan dan sikap itu tentu saja secara otomatis tertransfer kepada peserta training, padahal jika diteliti secara seksama silabus training (ketika itu), belum mengakomodir sikap oposisi PII terhadap pemerintah.
Demikianlah seorang instruktur bekerja, berbakti, dan berdakwah dalam mewujudkan insan PII yang bertaqwa, berkualitas, dan memiliki komitmen yang tinggi dalam memperjuangkan tegaknya Islam yang kaffah. Lebih jauh dari itu, training adalah salah satu sarana mencapai tujuan PII yaitu islamisasi pendidikan dan kebudayaan di Indonesia. Saya pun merasa cukup bahagia menjadi bagian dari barisan Islam ini.[]
Penulis
*) Sayed Muhammad Husen
Ketua Bidang Kaderisasi PW PII Aceh (1988-1990) dan Ketua Bidang Ekstern/Humas PW PII Aceh (1991-1992)
Komentar