Menakar Kemiskinan Betah di Negeri Sultan Iskandar Muda yang Memiliki Otonomi Khusus

Bila pemangku kepentingan sudah serius dan berkomitmen tinggi pada pembenahan bagaimana kiranya kemiskinan tidak bisa betah berlama-lama di negeri Iskandar Muda akan tercapai
Dr. Zainuddin, SE, M.Si Akademisi Universitas Serambi Mekkah
PERSOALAN ekonomi yang sangat klasik menghantui kehidupan umat manusia adalah kemiskinan yang tidak akan bisa dituntaskan hingga hilang seratus persen selama kehidupan itu sendiri masih ada. Namun, menekan angka kemiskinan di suatu kawasan atau daerah dan bahkan Negara sekalipun merupakan sesuatu yang mungkin terjadi apabila ada komitmen yang tinggi dari pemangku kepentingan daerah atau Negara yang bersangkutan itu sendiri ada dan diaplikasikannya secara sungguh-sungguh model pembangunan yang akan diterapakan dalam rangka menekan kemiskinan ditengah-tengah masyarakat.
Kemiskinan atau miskin dapat dimaknai ketidakmampuan yang bersangkutan dalam memenuhi kebutuhannya terutama kebutuhan dasar dan munculnya kemiskinan mungkin akan disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya keterbelakangan, tidak meratanya distribusi pendapatan, tidak memiliki kesempatan, tidak memiliki akses modal, tingginya angka korupsi dan tidak adanya komitmen pemangku kepentingan dalam pengentasan kemiskinan.
Dalam mukadimah ini kita tidak mengkaji faktor penyebab kemiskinan itu sendiri secara utuh, tetapi mempersoalkan kenapa kemiskinan betah berlama-lama di negeri yang memiliki otonomi khusus (Otsus) dengan daya budget yang mumpuni?. Sebelum kita coba cari alasan kenapa itu terjadi mari kita lihat publlikasi Badan Pusat Statistik tentang angka kemiskinan dalam ribuan untuk kabupaten dan kota di provinsi Aceh, seperti pada gambar berikut ini:
Sedangkan untuk tingkat kemiskinan dalam ribuan di Provinsi Aceh, seperti terlihat di gambar berikut ini:
Berdasarkan gambar diatas dapat dilihat bahwa lima besar kabupaten penyumbang orang miskin terbanyak untuk provinsi Aceh secara berturut-turut, yaitu Aceh Utara, Pidie, Bireuen, Aceh Timur, dan Aceh Besar. Namun, kabupaten dan kota tidak termasuk dalam lima besar bukan berarti jumlah penduduk miskin tidak representatif bila dibandingkan dengan jumlah penduduk.
Bila kita lihat untuk tingkat provinsi bahwa terjadi sedikit penurunan jumlah akumulatif semenjak tahun 2018 hingga 2020, dimana angka kemiskinan turun dari tahun 2019 ke tahun 2020 sebanyak 4.530 jiwa atau 0.55%. Maka, kinerja Pemerintah Aceh secara keseluruhan mencakup pemerintah kabupaten dan kota hanya mampu mengentaskan kemiskinan selama setahun sebesar 0.55% dengan kondisi budget yang relative sangat besar dan entah dari tahun 2020 ke tahun 2021 ini yang nota bene sedang dilanda pandemic COVID-19 apakah akan bertambah atau berkurang kemiskinan di negeri Iskanda Muda.
Bila kita sedikit menerka-nerka tentang bagaimana kiranya agar kemiskinan harus berada dibawah lima persen atau hanya berkisar lima persen dari jumlah penduduk dan bila kita hubungkan dengan jumlah penduduk Aceh tahun 2019 sebesar 5.371.532 jiwa, maka jumlah tingkat kemiskinan tidak boleh lebih dari 268.576,6 jiwa (268.577 jiwa). Artinya untuk menekan kemiskinan ideal pada tataran lima persen perlu dibenahi disegala bidang agar berlaku efektif, efesien dan ekonomisasi. Dan apakah itu bisa dilakukan di Aceh, jawabanya amat sangat bisa dengan ketentuan lakukan perencanaan terukur dan diaplikasikan semua rencana tanpa ada celah untuk berlaku illegal serta tidak nepotisme dalam merealisasi rencana. Bisa dimulai dari rencana lima tahunan yang sudah disusun baik ditingkat kabupaten kota hingga provinsi dan bila rencana disusun tidak berangkat dari analisis data berupa model SWOT, maka secepatnya dilakukan penyesuaian hingga capaian pembangunan yang berujung pada peningkatan kesejehateraan tercapai.
Dengan demikian, bila pemangku kepentingan sudah serius dan berkomitmen tinggi pada pembenahan bagaimana kiranya kemiskinan tidak bisa betah berlama-lama di negeri Iskandar Muda akan tercapai.
Membiarkan kemiskinan tetap eksis merupakan dosa besar yang akan diminta pertanggungjawaban di mahkamah yang Maha Kuasa kelak. Aceh lon sayang.
*) Penulis: Dr. Zainuddin, SE, M.Si
[Akademisi Universitas Serambi Mekkah]
Komentar