Wakil Sekretaris IDI Wilayah Aceh Pusdikkes Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, dr. Masry, Sp.An-TI, menjadi narasumber peHTem edisi Senin, 25 September 2023 episode ke 11 Tahun ke IV dengan tema: Mengungkap Peredaran Tramadol di Aceh, Benarkah Apoteker bermain? yang dipandu oleh host Siti Aminah, S.IP, M.MLS Jangan lupa like share comment and subscribe.

Manfaat Akses KB PII

AK JailaniSayed Muhammad Husen, Ketua Bidang Kaderisasi PW PII Aceh (1988-1990) dan Ketua Bidang Ekstern/Humas PW PII Aceh (1991-1992)
A A A

Satu hal yang saya khawatirkan, bahwa apa yang saya alami dan rasakan, akan sulit diperoleh generasi berikutnya

Sayed Muhammad Husen Redaktur mediaaceh.com

Setelah saya menyelesaikan tugas sebagai PW PII Aceh (1992), masih tetap dipermudah segara urusan pekerjaan dan organisasi oleh KB PII. Misalnya, saya mendapat rekomendasi dari M Yunus Ilyas (KB PII Aceh Timur) untuk mengikuti Pelatihan Manajemen Program Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) dan kemudian menjadi pengurus PKBI Aceh. Pak Yunus memperkenalkan KB PII lainnya Drs Nurdin Abdurrachman MSI yang ketika itu menjabat Kepala Biro Pembinaan Sosial dan Bintal (Binsostal) Kantor Gubernur Aceh (1996). Saya memerlukan dukungan Pak Nurdin untuk memajukan Baitul Qiradh Baiturrahman.

Ketika saya bergabung dengan Pemuda Muhammadiyah (1992), saya mendapat rekomendasi KB PII lainnya, Sofyan Ibrahim Tiba, Ismaiel Syah, Muhammad Yus, dan Imam Syu'ja. Dari tokoh-tokoh Muhammadiyah ini mengantarkan saya menjadi Wakil Ketua Departemen Dakwah PD Pemuda Muhammadiyah Kota Banda Aceh (periode Rosman Daudy) dan Wakil Sekretaris PW Pemuda Muhammadiyah Aceh (periode M Zardan Araby). Bahkan Imam Syuja’ mengizinkan saya tinggal di Komplek Masjid Taqwa Muhammadiyah selama dua tahun, setelah kebakaran kantor PW PII Aceh tempat saya tinggal (1993).

Bersama sahabat PII, Amrul Syah dan kawan-kawan, kami mengaktifkan kembali DPD Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Aceh yang telah lama vakum (1993). Kami mengadakan pelatihan, pengkaderan, dan seminar nasional tentang perbankan syariah. Pada masa ini, hanya saya dan Amrul Syah dari PII yang bergabung dengan IMM. Sementara pengurus lainnya murni kader Muhammadiyah, seperti Erly Hasyim, Jufri Mahmud, Tarmizi Gadeng, Asyraf, Nur Alam, serta Said Mahyuddin.

Demikian pula, saya bergabung dengan Forum LSM Aceh (1992) melalui akses KB PII Alfian Husin Itam, Fauzi Ali Amin, dan Teguh Muhammad Abduh. Mereka mendukung saya menjadi panitia Musda Forum LSM di Saree dan kemudian menjabat Sekretaris Eksekutif Forum LSM Aceh (periode Mirdas Ismail). Pada masa ini, karena keterbatasan biaya sewa kantor, Forum LSM sempat berpindah dari kantor PKBI di Jeulingke ke kantor Pengacara SWM di Keudah.

Saya bergabung dengan Syarikat Islam (SI) tahun 1993. Ketika itu, KB PII M Munir Azis mengajak saya mengikuti Muswil SI yang diketuai Tgk Asmail Ben dan Muswil Pemuda Muslimin di Hotel Lading, Banda Aceh. Saya hadir berdua sahabat Ridwan Amiruddin. Yang cukup bersejarah, saya dan Ridwan diresmikan sebagai anggota SI. SI adalah adalah pergerakan Islam tertua di Indonesia, yang kemudian menjadi Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Beberapa tokohnya di Aceh seperti Tgk H Hasballah Abu Indrapuri, Ayah Hamid Samalanga, dan Prof A Hasymi.

Akses berikutnya, melalui KB PII AR Rasyidi, Ali Sabi, Muhammad Yus, Miswar Sulaiman, Zulkifli Amin, serta Hasanuddin Yusuf Adan. Mereka mengajak saya mendirikan dan bergabung dengan Dewan Dakwah Islamiah Indonesia (DDII) Perwakilan Aceh. Ketika pembentukan pertama kali (1994) yang datang ke Banda Aceh juga KB PII Jakarta, Husein Umar. Semangat utama DDII adalah memperkuat barisan dakwah di bidang politik dan antisipasi pemurtadan di perbatasan dan daerah terpencil. Ketua DDII Aceh periode pertama adalah H Ali Sabi SH.

Berikutnya saya semakin aktif di DPW Badan Komunikasi Pemuda dan Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI) yang diketuai T Hasanuddin Yusuf (TH). Saya mengenalnya sejak tahun 1984 ketika mengelola training PII di Bakaran Batu, Sabang. Dia mengajak saya dan kawan-kawan PII seperti Bachtiar TD Yoesoef menjadi pengurus BKPRMI Aceh (1994). Sebelumnya, saya termasuk aktivis yang kurang simpati dengan BKPRMI, sebab organisasi ini berhasil dibujuk oleh Menpora Abdul Ghafur menerima asas tunggal Pancasila. Kata Bang TH, nama panggilan T Hasanuddin, organisasi ini dapat menjadi alternatif wadah pembinaan pelajar, remaja, dan pemuda di Aceh.

Ketika saya mengurus pembentukan Baitul Qiradh Baiturrahman (1995), hal yang membuat mudah dan lancar adalah Imam Besar Masjid Raya Baiturrahman (MRB) Tgk H Soufyan Hamzah yang juga pendiri PII Aceh. Lagi-lagi akses PII. Walaupun tidak terlalu akrab, beliau mengenal saya sebagai aktivis PII, yang dengan mudah dia yakin atas gagasan perlunya pembentukan lembaga keuangan mikro syariah di lingkungan MRB. Bahkan, ketika rapat pertama kali pembentukan kembali PW PII (1997) Aceh, saya memberanikan diri untuk memfasilisi tempat di Aula MRB. Keberanian itu muncul karena Imam Besar MRB adalah KB PII.

Dalam bidang politik, KB PII yang juga Ketua DPW PPP AR Rasyidi melalui Muhammad Yus (Abu Yus) mengharapkan saya bergabung dengan PPP dengan jabatan Wakil Ketua Biro Pendidikan dan Pelatihan (1994). Inilah pertama kali saya menjadi bagian dari partai politik hasil fusi empat partai Islam, yaitu Partai Muslimin Indonesia, Partai NU, Partai Syarikat Islam dan Partai Tarbiyah Islamiah Indonesia (PERTI). Sebelumnya, tentu saja banyak tokoh PII di PPP seperti Muhammad Yus, M Munir Azis, Ismaiel Syah, Miswar Sulaiman, Sayed Amir Jihad, Zulkifli Amin, dan lain-lain.

Tidak lama di PPP, tahun 1998, saya diajak tokoh PII Aceh H Miswar Sulaiman mendeklarasikan Partai Ummat Islam (PUI) yang tingkat nasional dipimpin oleh Prof Dr Deliar Noer. Padahal, ketika itu, saya sedang mendiskusikan bersama Tgk H Imam Syuja’ supaya Bang Miswar dapat memimpin PPP Aceh, menggantikan AR Rasyidi. Saya pun keluar dari PPP dan mendeklasikan PUI bersama KB PII, Miswar Sulaiman, Aliamin, Ismaiel Syah, Abdullah Amin, Zaini Zakaria Alwy, dan A Wahab Musa.

Kemudian, lagi-lagi karena akses dan jaringan KB PII, saya mendapat tawaran bekerja di Baitul Mal Aceh (BMA) dari Drs Nurdin Abdurrachman MSi (KB PII Kota Langsa). Dia dapat dikatakan salah seorang arsitek pembentukan BMA. Dengan posisi sebagai Sekretaris Umum BAZIS Aceh dia berpeluang menyiapkan konsep transformasi BAZIS menjadi BMA pada tahun 2003. Ketika itu telah dilakukan kajian, studi banding ke lembaga zakat di Malaysia, dan seminar zakat di Aula Bank Aceh (1992), akhirnya disepakati yang dibentuk adalah BMA, bukan Baituzzakah seperti nama yang direkomendir peserta seminar.

Saya berjumpa dengan Pak Nurdin pada saat talk show Radio Baiturrahman awal Januari 2004. Setelah talk show, dia meminta saya dapat membantu BMA. Saya katakan boleh, sebab saya tidak ada lagi menjabat Direktur Baitul Qiradh Baiturrahman sejak 2021. Waktu itu, saya sedang bekerja freeline media. Dia minta saya segara masuk kantor di Komplek Asrama Putri Nasional Jalan Imam Bonjol Banda Aceh. Setelah rapat dengan Kepala BMA Drs HM Yusuf Hasan SH, yang dilantik bersama Pak Nurdin (Wakil Kepala) oleh Gubernur Abdullah Puteh, 12 Januari 2004, saya mendapat amanah sebagai Kepala Bidang Pungumpulan BMA.

Karena itu, saya merasakan banyak sekali akses dan peluang lainnya dari KB PII, sehingga saya berkesempatan menjadi pengajar, instruktur, narasumber, moderator, penulis, editor, moderator, serta host pada berbagai acara dan kegiatan. Semua ini tak terlepas dari gemblengan dan pembinaan oleh PII, serta rekomendasi KB PII. Saya benar-banar mendapatkan pembinaan PII sejak kelas tiga SMP yang terus berlanjut hingga bergabung dalam wadah KB PII Aceh. Semoga Allah Swt membalas amal baik instruktur dan pembina lainnya yang telah membina kami, baik yang telah berpulang ke Rahmatullah, maupun yang masih terus berbakti membangun umat, bangsa, dan negara.

Satu hal yang saya khawatirkan, bahwa apa yang saya alami dan rasakan, akan sulit diperoleh generasi berikutnya, sebab sejarah PII Aceh sempat “terhenti” akibat kebijakan asas tunggal oleh Orba Soeharto. Jika pengurus dan KB PII masih serius membesarkan PII, maka membutuhkan waktu 20 tahun lagi untuk menjadikan PII besar seperti tahun 70-an dan 80-an. Namun, tentu saja berbeda zaman, berbeda generasi, akan berbeda pula kebutuhannya. Berbeda jauh dengan generasi kami. Untuk itu, teruslah PII mensiasati dan membaca tanda-tanda zaman dan jadilah generasi unggul yang mampu bersaing di tingkat global.[]

Penulis
*) Sayed Muhammad Husen
Ketua Bidang Kaderisasi PW PII Aceh (1988-1990) dan Ketua Bidang Ekstern/Humas PW PII Aceh (1991-1992)

Komentar

Loading...