Wakil Sekretaris IDI Wilayah Aceh Pusdikkes Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, dr. Masry, Sp.An-TI, menjadi narasumber peHTem edisi Senin, 25 September 2023 episode ke 11 Tahun ke IV dengan tema: Mengungkap Peredaran Tramadol di Aceh, Benarkah Apoteker bermain? yang dipandu oleh host Siti Aminah, S.IP, M.MLS Jangan lupa like share comment and subscribe.

Lima Kunci Kemakmuran Masjid Jogokariyan

Sayed M HusenSaifuddin A. Rasyid, Imuem Syik Mesjid Jamik Batul Jannah Kemukiman Tungkop Aceh Besar dan Ketua BKM Masjid Fathun Qarib UIN Ar-Raniry Banda Aceh.
A A A

Bila warga bangga dengan kampung mereka, mereka juga bangga dengan masjidnya

Saifuddin A. Rasyid Ketua BKM Masjid Fathun Qarib UIN Ar-Raniry Banda Aceh

TERLETAK di tengah perkampungan Jogokariyan Yogyakarta, Masjid Jogokariyan ini langsung mengadopsi nama kampungnya. Tak punya nama lain, tidak sebagaimana layaknya masjid-masjid lainnya di Indonesia. Nama Jogokariyan tampaknya langsung melekat dan menyatu di hati warga kampung itu. Mudah diingat dan menimbulkan rasa kepemilikan (sense of belonging) dari warga sekitar masjid. Bila warga bangga dengan kampung mereka, mereka juga bangga dengan masjidnya.

Jogokariyan, dari diskusi dengan Ustaz Rizqi, ketua takmir masjid itu, pada 15 Juni 2023 bakda subuh di ruang atas masjid tersebut, diambil dari nama pasukan tim pengaman kraton yang dibentuk di kampung itu. Namanya Jogokaryo atau pasukan jaga karya. Yaitu penjaga tempat raja yang disegani dan memiliki peran penting di tengah masyarakatnya. Pasukan itu, dengan seragam khas Yogya diingat dengan baik sampai sekarang oleh warga. Di ujung jalan atau gang keluar masuk kampung itu didirikan patung pasukan Jogokaryo, sebagai apresiasi kebanggaan masyarakat setempat. Ini kekuatan, kearifan lokal disitu.

Kampung (statusnya di bawah level kelurahan) dengan jumlah penduduk kurang lebih 2.600 jiwa yang terbagi dalam 18 RT dan 4 RW itu  tampak bersahaja. Tak terdapat bangunan mewah, kecuali dua bangunan hotel yang terletak di gerbang jalan masuk perkampungan itu. Selebihnya semua bangunan khas Yogya, yang bersahaja, sederhana, padat namun tertata bersih dan ramah. Tampak dari raut wajah warga yang terlihat lalu lalang, bahwa kampung itu maju, tetapi tak melepaskan dasar-dasar kearifan lokal budaya dan kebersahajaan warganya.

Dengan warna khas biru lembut masjid Jogokariyan bukanlah bangunan mewah yang berukuran besar. Masjid ini layaknya seperti bangunan masjid lainnya di perkampungan Yogya. Diresmikan pada 1966, yaitu saat azan shalat Jum’at perdana dikumandangkan di masjid itu. Dalam suasana “hitam” karena pengaruh ajaran komunisme  kuat di kampung tersebut kala itu. Bangunan utamanya tampak hanya sekitar sepuluh kali sepuluh meter. Dengan kubahnya berbentuk dome, khas masjid masjid nusantara lainnya. Tetapi masjid ini dalam perjalanan waktu mengalami perluasan, kiri kanan, belakang, dan atas. Maka kapasitasnya sekarang mampu menampung sekitar seribu lima ratus jamaah.

Berkesempatan berada lima waktu dan shalat Jum’at 16 Juni 2023 di Masjid Jogokariyan tersebut, saya memang merasakan beda. Tak pernah sepi. Setiap waktu shalat tiba ruang masjid -- terutama ruang utama -- selalu dipenuhi jamaah. Tak kurang limaratus, pada hari hari biasa. Setiap waktu. Subuh juga sama. Bahkan, dalam shalat Jum’at jamaah sampai melebar ke jalan utama perkampungan samping kanan masjid. Diinformasikan bahwa, pada waktu waktu shalat hari biasa perbandingan jamaahnya tujuh puluh persen warga setempat dan tiga puluh persen pengunjung dari luar. Tetapi akhir pekan bisa fifty-fifty.

Apa Kekuatannya?
Saya menyerap dan membuat catatan kecil mengenai kekuatan dan kunci sukses manajemen masjid tersebut. Setidaknya lima kunci sukses kemakmuran yang saya amati.

Pertama
Inklusif. Masjid tak berdiri jauh dari masyarakat. Memang poisisinya di tengah kampung, dekat dari berbagai arah. Tetapi yang saya maksudkan di sini adalah, spiritnya menyatu dengan masyarakat. Akrab. Tak tampak ada sekat-sekat yang memisahkan antara masjid dengan warganya. Terbuka, tanpa pintu pintu dan pagar eksklusif. Suasana cair. Takmir pun memakai peci khusus. Khas Yogya. Peci batik. Bahkan, sebagian jamaah pun memakai peci gaya yang sama. Warga bebas keluar dan masuk masjid sesuai kebutuhan mereka untuk ibadah dan belajar serat i’tikaf.

Selesai shalat Jum’at, saya sengaja masuk ke ruang takmir, sekedar untuk melihat suasana di dalam sekretariat mereka. Para takmir yang ada disitu sekira enam orang bebas lepas dalam canda dan gurau. Tampak dari raut wajah mereka, bahwa mengurusi masjid seperti Jogokariyan itu menyenangkan. Tidak tampak ada beban yang melelahkan dan menguras energi.

Kedua
Baseline. Takmir memiliki baseline data warga sekitar masjid, yaitu data warga Jogokariyan secara detail dan update. By name by address. Siapa namanya, kepala keluarganya, pekerjaannya, pendapatannya, pendidikan masing masing anggota keluarga, kemampuan membaca Al-Quran, kemampuan menjalankan ibadah shalat, serta data mengenai penyakit yang diderita. Semua hal dicatat dalam baseline masjid. Baseline data itulah yang digunakan oleh takmir dalam membangun program program masjid. Jadi programnya tepat sasaran. Efektif.

Ketiga
Orientasi menarik jamaah. Objective masjid clear, yaitu membawa warga berjamaah di masjid. Semua warga, khususnya kaum pria, perempuan juga. Anak anak juga. Remaja, apalagi. Untuk tujuan itu, maka pernah masjid Jogokariyan membuat program menshalatkan orang hidup. Yaitu dengan mengirim ustaz ke rumah-rumah untuk membimbing warga yang belum bisa shalat. One by one. Ditangani khusus, di rumah masing masing. Bukan diajarkan di masjid. Setelah agak bisa, maka didampingi oleh ustaznya untuk pergi menunaikan shalat di masjid.

Terkait program tersebut masjid juga pernah membagi bagi hadiah, dikirim ke rumah rumah untuk orang yang diidentifikasi bisa melaksanakan shalat tetapi tidak melaksanakannya, baik di rumah maupun di masjid. Hadiah dibungkus rapi dan diantar ke rumah warga yang dituju. Isi kado hadiahnya adalah kain sarung dan mukena. Masjid bahkan menulis dan mengirim undangan khusus kepada warga untuk hadir di masjid pada jam sekian, sekian, dan sekian. Acara shalat berjamaah. Kreatif.

Keempat
Memenuhi kebutuhan dan memperhatikan kepentingan jamaah. Perkategori, per-individu. Ditangani dengan pendekatan berbeda berdasarkan kategori masing masing. Jamaah pria dewasa, orang tua, orang kaya, difabel, remaja, anak anak, ibu ibu muda, warga miskin, dan kategori lainnya. Masing masing kategori memiliki kebutuhan dan kepentingan masing masing yang berbeda beda. Masjid mengelola program yang menyentuh masing masing kategori jamaah itu. Anak anak suka main game, maka masjid menyediakan ruangan dan fasilitas khusus untuk main game.

Di masjid ini anak-anak tidak dimarahi. Difabel perlu jalur kursi roda maka masjid menyediakan tangga yang sesuai sekaligus menyediakan kursi rodanya. Orang kaya ingin imam seperti di Masjidil Haram atau Nabawi, maka masjid mendatangkan imam yang suaranya bagus. Warga yang kurang berkecukupan memerlukan beras dan lauk pauk, masjid menyediakan kuponnya dan berasnya lengkap dengan biaya lauk pauknya. Intinya masjid mengikuti dan melayani kebutuhan dan kepentingan jamaah.

Shalat Jum’at dilakukan tepat pukul 12 siang, menyesuaikan dengan waktu istirahat siang perkantoran di Yogya, meskipun waktu shalat sebenarnya sudah masuk sejak duapuluh menit sebelumnya. Disediakan kotak nasi makan siang pula, dimana setiap jamaah yang hadir shalat Jum’at dapat menikmatinya. Air mineral tersedia sepanjang waktu di masjid ini, dalam peti pendingin. Beasiswa untuk kalangan tertentu juga disediakan. Modal usaha mikro juga ada.

Kelima
Memfungsikan jamaah. Umumnya di masjid-masjid di Nusantara jamaah datang untuk melaksanakan shalat, wirid, berdo’a dan pulang. Di Jogokariyan tidak seperti itu. Jamaah yang sudah ada di masjid, difungsikan sesuai minat dan kapasitas masing masing. Masuk dalam tim relawan pengelola program masjid. Saat ini pada manajemen Jogokariyan telah ada tiga puluh divisi program (yang disebut biro) yang masing masing biro ada timnya yang mengurusi, direkrut dari jamaah. Biro tidak dibentuk berdasarkan keinginan takmir masjid, tetapi berdasarkan identifikasi program yang diusulkan oleh jamaah. Banyak jamaah terserap untuk menjalankan program program. Untuk program qurban saja misalnya terserap sampai lima ratus orang dengan rata-rata qurban disembelih setiap tahun sebanyak 50 ekor sapi dan 50 ekor kambing.

Kotak amal di masjid Jogokariyan banyak, yaitu tergantung masing masing program. Kotak parkir, kotak dunia Islam, kotak Jum’at (untuk membiayai pengadaan nasi berkah setiap selesai shalat Jum’at), dan lainnya. Setiap kotak itu ada tim bendaharanya yang dibentuk dari kalangan jamaah. Tidak dikelola oleh takmir. Umumnya jamaah sibuk dengan tugas masing masing di masjid ini. Sehingga dua puluh empat jam orang tidak putus terus bergilir datang dan pulang untuk beribadah dan menyelesaikan tanggungjawab masing masing. Jadi di masjid ini tidak ada kecurian kotak amal karena selalu ada orang disitu.

Masjid Pemberdaya
Masjid Jogokariyan telah melewati tahapan tahapan yang signifikan. Bila masjid-masjid dikelompokkan dalam tiga kelompok, sesuai tahapan dan peringkatnya, maka dapat dilihat sebagai berikut:

Pertama
Masjid donasi. Yaitu masjid yang sumber dan pengelolaan keuangannya tergantung donasi jamaah atau dengan mengajukan proposal kepada pihak pihak lain termasuk pemerintah. Masjid kategori ini belum dapat mengembangkan program program yang berfariasi, karena ketergantungannya sangat tinggi kepada pihak donatur.

Kedua
Masjid mandiri. Yaitu masjid yang pendanaannya dikelola dari sumber infak jamaah. Pada level masjid mandiri ini jamaah diadvokasi agar membawa infak setiap datang ke masjid. Kebutuhan operasional masjid dihitung totalnya lalu dibagi per individu jamaah tetap. Katakanlah ketemu setiap jamaah perlu membawa infak Rp 2000 setiap waktu shalat, karena katakanlah itu fix biaya yang dikeluarkan masjid untuk membiayai satu orang jamaah yang shalat disitu setiap waktu, untuk kebutuhan kebersihan, biaya air, biaya listrik, insentif dan lainnya.

Ketiga
Masjid pemberdaya. Pada level ini masjid tidak lagi memerlukan donasi, infak jamaah dan sumbangan melalui proposal untuk menjalankan roda kemasjidannya. Semua dana sudah dapat dicover sendiri oleh masjid. Dana jamaah seberapapun yang ada dapat langsung dihabiskan. Inilah rahasia masjid ini dapat mengumumkan saldo nol rupiah. Tidak ada dana infak sedikitpun tersisa di kas atau rekening masjid.

Hal ini dimungkinkan oleh karena dana infak jamaah sudah langsung teralokasi ke pos program melalui kotak amal khsus masing masing program sebagaimana dijelaskan di atas. Kotak itu dikeluarkan langsung untuk dimanfaatkan membiayai masing masing program. Sehingga saat diumumkan pada hari Jum’at atau saat yang lainnya, memang sudah nol. Dana infak jamaah langsung terdistribusi. Terserap habis. Sementara untuk biaya operasional, masjid tidak lagi mengandalkan dana infak, tetapi dana sendiri yang diakumulasi dari keuntungan bisnis yang dijalankan oleh masjid.

Tentu saja dana dari sumber bisnis ini tidak dilaporkan langsung kepada jamaah, tetapi dipertanggungjawabkan sesuai mekanisme yang berlaku, termasuk dilaporkan dalam rapat pemegang saham. Sebagai masjid pemberdaya, masjid Jogokariyan sudah menjadi solusi dari berbagai masalah untuk jamaahnya dan bagi warga masyarakat sekitarnya.

Wakaf Produktif
Bagaimana Masjid Jogokariyan menjalankan bisnis? Adalah dengan cara wakaf produktif. Masjid merancang bisnis yang permodalannya dihimpun melalui wakaf. Manajemennya tentu khusus sesuai ketentuan wakaf. Namun wakaf itu digunakan secara produktif melalui investasi usaha atau bisnis yang menguntungkan. Keuntungan sahamnya digunakan untuk membiayai operasional masjid. Sementara dana wakaf itu abadi. Dana wakaf tersebut dipekerjakan untuk mencreate keuntungan. Wallahu a’alam.

Penulis
*) Saifuddin A. Rasyid
Imuem Syik Masjid Jamik Batul Jannah Kemukiman Tungkop Aceh Besar dan Ketua BKM Masjid Fathun Qarib UIN Ar-Raniry Banda Aceh

Rubrik:OPINI

Komentar

Loading...