Mantan Sekretaris Wilayah Partai Perindo Aceh, H. Asrul Abbas, SE kembali menjadi narasumber peHTem edisi Senin, 3 April 2023 episode ke 65 Tahun ke 3 dengan tema: Benarkah Ketua dan Sekretaris Partai Perindo Aceh Ricuh? yang dipandu oleh host Siti Aminah, S.IP, M.MLS, Jangan lupa like share comment and subsribe.

Dana Otsus Aceh Antara Prestasi dan Dengki

doc acehimage.comIlustrasi Peta Aceh
A A A

Bila seperti itu adanya, maka sangat erat kaitannya dengan manajemen pengelolaan dana Otonomi Khusus (otsus) itu sendiri, dan tentang manajemen pengelolaan adalah tak lain tak bukan menyangkut dengan planning, organizing, actuating dan controlling (POAC).

Dr. Zainuddin, SE, M.Si Akademisi Universitas Serambi Mekkah dan Pemerhati Sosial Ekonomi Rakyat

TAK dipungkiri dana Otonomi Khusus (otsus) yang diterima provinsi Aceh disebabkan adanya gerakan pembangkangan yang dilakukan oleh para mantan kombantan tempo dulu, walaupun sekarang sudah tidak ada lagi fiksi-fiksi yang bertentangan dengan hukum NKRI alias sudah berdamai dan Aceh bagian integral yang yang tak terpisahkan dari kedaulatan Republik Indonesia. Artinya ada benarnya dana Otonomi Khusus (otsus) itu seperti yang saya dengan dari argumentasi seorang anggota DPRA beberapa waktu yang lalu saat merobek kertas pada sidang Paripurna Laporan Kinerja Gubernur Aceh (LKPJ) Tahun 2020 bahwa dana Otonomi Khusus (otsus) bisa dikatakan dana yang dikucurkan oleh pemerintah pusat karena sudah dihentikan pemberontakan alias tidak lagi berperang antara pembangkan GAM dengan pemerintah Republik Indonesia, maka pendek kata dana Otonomi Khusus (otsus) itu semestinya diperuntukan semaksimal mungkin pada perbaikan kinerja ekonomi rakyat Aceh bukan untuk konsumsi aparatur pemerintah Aceh, baik tingkat satu maupun tingkat dua. Itu yang bisa saya tangkap dari kejadian  yang terjadi di gedung DPRA beberapa waktu yang lalu dengan lantang anggota Partai Aceh (PA) menyatakan seperti itu, dan itu sepanjang amatan penulis mendapatkan aplus dari rakyat Aceh.

Saya yang berkecimpung di dunia akademik tentu melihatnya tidak sesederhana itu tentang capaian dana Otonomi Khusus (otsus) di Aceh. Kalau boleh diilustrasikan sedikit apa sesungguhnya yang harus dilakukan pemerintah Aceh (dalam makro ekonomi) adalah menyediakan barang-barang publik yang mendukung aktivitas ekonomi rakyat secara menyeluruh guna mencapai tingkat kesejahteraan pada tingkat tertentu. Bila seperti itu adanya, maka sangat erat kaitannya dengan manajemen pengelolaan dana Otonomi Khusus (otsus) itu sendiri, dan tentang manajemen pengelolaan adalah tak lain tak bukan menyangkut dengan planning, organizing, actuating dan controlling (POAC). Nah, mari kita coba menerka-nerka tentang apa yang terjadi dengan manajemen pengelolaan dana Otonomi Khusus (otsus) versi diskusi kelas dan diskusi rakyat diraket-raket. Tentang planning menyangkut program kerja yang dibiayai dana Otonomi Khusus (otsus) semetinya harus diopenkan alias dipublis secara luas kepada masyarakat sedetil-detilnya, baik nama program dan besaran budget. Bila dalam perencanaan program sudah dipublis secara luas, maka kemudian rakyat akan mengetahui dengan jelas apa-apa yang akan dilakukan dengan dana Otonomi Khusus (otsus) dan pasti rakyat akan mengapresiasi positif bila itu menyangkut kebutuhan publik dan akan mengkritisi bila itu lebih kepada konsumsi privat, dan apakah selama ini ada dilakukan demikian?, bila jawabannya tidak ada maka kemudian rakyat tidak bisa disalahkan ketika kecurigaan dan bergumentasi negative tidak transparannya program kerja yang dibiayai dengan dana Otonomi Khusus (otsus).

Kemudian, setelah planning ada yang namanya organizing artinya mengornas apa-apa yang diperlukan untuk dijalankan program yang telah disusun, seperti siapa yang akan melaksanakan, siapa yang mengawasi, jangka waktunya berapa lama, infrastruktur apa yang diperlukan dan lian sebagainya. Pada bagian ini kita percaya dengan sumber daya manusia yang tersedia dieksekutif dan legeslatif mampu memformulasikannya, dan pada organizing juga harus transparan serta dipublis ke masyarakat. Selanjutnya, actualizing yang artinya melakukan implementasi program dengan cara yang sesuai dengan kaedah pekerjaan proyek pemerintahan, mulai mentenderkan hingga menetapkan siapa yang melaksanakan dan itu lazim terjadi diproyek pemerintah. Dan yang terakhir controlling, artinya pada bagian ini ada dua lembaga yang melakukan, baik oleh eksekutif biasanya ada inspektorat yang mengawasi atas jalannya program dan fungsi dari legeslatif yang bisa dilakukan pengawasan langsung dan tidak langsung. Bila kita berorientasi pada kaedah fungsi manajemen atau POAC, maka kemudian output dan outcome dari dana Otonomi Khusus (otsus) Aceh bukan hanya tanggungjawab pemerintahan atau eksekutif saja melainkan juga tanggungjawab legeslatif. Artinya kegagalan penggunaan dana Otonomi Khusus (otsus) Aceh mencapai cita-cita perdamaian, yaitu rakyat Aceh bisa sejahtera adalah karena dua institusi (eksekutif dan legeslatif) gagal paham dalam mengimplementasikan dana Otonomi Khusus (otsus) itu sendiri.

Dengan demikian, yang tadinya anggota dewan (DPRA) dengan lantang menyuarakan tentang penggunaan dana Otonomi Khusus (otsus) yang katanya salah dipergunakan oleh eksekutif dengan membelanjakan membeli mobil dinas (kedinasan) menjadi sia-sia karena pada dasarnya tugas legeslatif bisa melakukan pengawasan selama pengiplentasi program. Maknanya, secara ringkas saya melihatnya ada sandiwara yang diamainkan dan berbagi peran untuk dipertontonkan kepada masyarakat, padahal sesungguhnya tugas mereka (eksekutif dan legeslatif) memprogram, menjalankan hingga mengawasi atas program-program yang telah mereka susun bersama. Artinya rakyat juga ikut salah bila kegagalan capaian kinerja dana otusus hanya seakan-akan kegagalan pemerintah eksekutif saja, karena sesungguhnya mulai dari penyusunan program hingga pengawasan itu dilakukan oleh mereka berdua, yaitu eksekutif dan legeslatif. Kita berharap kedepan pemangku kepentingan di Aceh jauh lebih takwakal ilallah dalam bertindak, dan semoga cita-cita perdamaian Aceh benar-benar menjadi contoh daerah yang sejahtera di bumi Indonesia. Tidak ada dosa yang tidak terampuni bila kita ingin bertaubat kecuali kita sudah murtad, semoga dawa-dawi kita bukan untuk bermusuhan melainkan mencara jalan terbaik untuk kebaikan bersama. Aamiin, atjeh loen sayang.

Rubrik:OPINI

Komentar

Loading...