Bekerja di SMP Persit

Satu keunggulan SMP Persit adalah tak pernah absen mengikuti berbagai lomba dalam rangka hari-hari besar Islam dan nasional atau yang diselengarakan oleh sekolah atau organisasi lain. Kadang juara kadang juga tidak
Sayed Muhammad Husen Ketua Bidang Kaderisasi PW PII Aceh (1988-1990) dan Ketua Bidang Ekstern/Humas PW PII Aceh (1991-1992)
Pertama kali saya bekerja adalah sebagai Guru Bimbingan Konseling (BK) SMP Persit Kartika Chandra Kirana di Neusu Banda Aceh (1990). Saya menggantikan Kanda Mawardi Jamaluddin Tami, yang menjabat Sekretaris Umum PW PII Aceh. Masih ada guru lainnya di sana yang juga mantan PII adalah Ramli Rasyid. Jadi saya direkom oleh Kanda Mawardi karena sama-sama PII dan menggantikan dia yang lulus sebagai guru PNS di SMAN Lipat Kajang, Aceh Singkil. Sementara saya belum tamat kuliah, menunggu jadwal KKN.
Awal bekerja sebagai konselor tentu mengalami kesulitan, misalnya bagaimana menerapkan ilmu yang telah dipelajari selama lima tahun di perguruan tinggi. Lama juga saya menyesuaikan diri dengan dunia kerja. Hampir enam bulan mempelajari cara penerapan ilmu BK di sekolah. Masalah pertama saya hadapi, tak ada ruangan khusus untuk konseling, sementara kami sudah mempelajari konseling, dari filosofi, metode, hingga simulasi penerapannya. Namun “pengamalan ilmu” dalam dunia kerja tak semudah dibayangkan ketika di kampus.
Ada kasus tertentu yang harus saya lakukan konseling di taman sekolah (bagian belakang). Kebetulan di bawah pohon rindang dan lingkungan yang bersih. Kasus pertama, seorang anak sering sesak nafas dan tak konsentrasi belajar. Setelah saya dalami, ternyata masalah utama yang dia hadapi adalah orang tuanya sangat otoriter. Saya “membimbing” siswa ini supaya mampu memahami dan beradaptasi dengan suasana sehari-hari di rumah. Dia perlu memahami bahwa kebiasaan dan karakter manusia tidak semuanya sama. Kasus siswa lain kurang mendapat penghargaan dari orang tua dan bahkan dari guru-guru di sekolah. Padadal, dia memiliki potensi yang dapat diandalkan, misalnya di bidang musik. Beberapa masalah lain sebenarnya dapat diselesaikan dengan keteladanan dan komunikasi yang efektif guru dengan siswa. Tidak membuat jarak yang jauh antara guru dan siswa. Dan tentu banyak masalah siswa lainnya yang menjadi tugas guru BK.
Selain tugas pokok sebagai guru BK, saya sering diminta bantu Kepala Sekolah, Pak Muzakkir HI, Kepala Tata Usaha (TU) Pak Syamsuddin, dan staf TU Pak Hazami. Saya seringkali diajak Pak Muzakkir untuk suatu urusan di Dinas Pendidikan Aceh. Banyak pengalaman pengelolaan sekolah yang dibagi oleh Pak Muzakkir dalam pembicaraan sehari-hari, termasuk dalam hal kemampuan SMP Persit bertahan di tengah keterbatasan jumlah murid, menjaga kedisiplinan, kebersihan lingkungan sekolah, serta relasi yang baik dengan pengurus Yayasan Persit Kartika sebagai pemilik sekolah.
Satu keunggulan SMP Persit adalah tak pernah absen mengikuti berbagai lomba dalam rangka hari-hari besar Islam dan nasional atau yang diselengarakan oleh sekolah atau organisasi lain. Kadang juara kadang juga tidak, yang penting selalu mengirimkan utusan/peserta. Seluruh dewan guru mendukungnya. Pernah satu kali, saya membimbing siswa mengikuti Lomba Cerita Agama Iskada di Masjid Raya Baiturrahman. Hasilnya, hanya dapat juara harapan, namun lewat lomba itu SMP Persit dikenal oleh seluruh peserta lomba. Ditambah lagi opini masyarakat, bahwa SMP Persit disiplin dan lingkungan sekolahnya bersih.
Hal yang menyenangkan selama lima tahun menjadi guru Persit, yaitu setiap tahun mendapat sepasang seragam. Jadi selama lima tahun saya hampir tak beli baju, apalagi tahun-tahun tersebut (1990-1995) adalah tahun-tahun “paceklik”, kekurangan uang, sebab tak ada pekerjaan lain, hanya menerima honor Rp 25 ribu setiap bulan dari Persit. Yang membuat sangat terharu, ketika kebakaran tempat saya tinggal (gedung PW PII Aceh), 5 September 1992, seluruh guru dan siswa mengumpulkan sumbangan untuk saya yang sedang musibah itu. Semoga Allah Swt membalas kebaikan mereka semua.
Setelah cukup lama berbakti di SMP Persit, saya mulai berpikir, bahwa tak terlalu cocok bertahan di sekolah setingkat SMP ini. Dari awal di kampus, kami sebenarnya disiapkan menjadi konselor tingkat SMA. Lagi pula, saya masih suka membaca, diskusi, dan menghadiri berbagai seminar. Sehingga, merasakan sebagian ilmu tak sesuai “disalurkan” untuk siswa SMP. Saya berdoa supaya Allah Swt menunjukkan pekerjaan baru yang lebih sesuai. Dan Allah Swt mengabulkan doa itu dengan saya pindah kerja ke Masjid Raya Baiturrahman sebagai Direktur Baitul Qiradh Baiturrahman (1995).[]
Penulis
*) Sayed Muhammad Husen
Ketua Bidang Kaderisasi PW PII Aceh (1988-1990) dan Ketua Bidang Ekstern/Humas PW PII Aceh (1991-1992)
Komentar