Rekrutmen Manajemen BPKS:
Antara Aturan dan Permainan

BANDA ACEH - Manajemen Badan Pengusahaan Kawasan Sabang (BPKS) Sabang, sebagai badan pengelola kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas, saat ini terus menjadi perhatian publik.
Sejak ditetapkan sebagai pelabuhan free port tahun 2000, setelah dibekukan tahun 1985, ternyata kawasan ini tidak berdampak signifikan terhadap perekonomian Aceh dan khususnya masyarakat Kota Sabang.
Dengan dilakukan rekrutmen pimpinan atau manajemen baru BPKS dengan sistem fit and proper test, maka rekrutmen pejabat tersebut diharap bisa menjawab semua penyebab lemahnya kinerja manajemen lembaga bisnis itu selama ini.
"Atau paling tidak, dengan hasil rekrutmen ini akan mendapatkan titik terang terhadap penyakit akut manajemen BPKS yang sudah menahun sehingga nantinya bisa sesuai harapan dan yang penting lembaga ini punya trust dan kredibilitas yang baik di mata masyarakat terutama pelaku usaha," kata akademisi Dr Taufiq Abdul Rahim.
Sesuai dengan aturan kata Taufiq Abdul Rahim, menetapkan dan mengangkat pejabat publik setingkat kepala badan dilakukan dengan atau melalui seleksi secara terbuka (transparan), sehingga bisa menghasilkan pejabat yang berkompeten, kredibel, jujur dan amanah.
"Nah, kalau seperti itu maka pantas diberikan apresiasi kepada tim seleksi jika seleksi benar-benar dilakukan sesuai aturan, ketentuan, kompetitif dan jujur," kata pengamat ekonomi, sosial pembangunan ini kepada acehimage.com, Senin (2/12/2019).
Namun jika pelaksanaan fit and proper test hanya sekedar formalitas, padahal orangnya atau calon pimpinan BPKS yang akan diangkat sudah dipersiapkan. Maka bila itu yang terjadi kata Taufiq, tentu hal ini merupakan langkah mundur (set back) untuk menjadikan pengelolaan BPKS yang profesional.
"Maka Oleh karena itu, seleksi "sandiwara" ini perlu dipertanyakan, apakah selekasi ini dilaksanakan secara jujur dan transparan atau tim seleksi menuruti calon pesanan (jika ada)," kata Taufiq A Rahim, dosen Fisip Unsyiah ini.
Kalau tidak katanya, seleksi ini jelas menjadi mainan dan permainan para elite Aceh, Dewan Kawasan Sabang (DKS) dan panitia seleksi, sehingga wajar jika masyarakat selalu curiga, kecewa, bahkan hilang kepercayaan (distrust) kepada elite dan Pemerinta.
Namun jika seleksi dilakukan dengan benar sesuai aturan, kita yakin masyarakat akan menyambut dengan baik.
"Pasti rencana pemerintah atau DKS menyeleksi calon pimpinan BPKS ini akan disambut baik oleh masysrakat. Karena mareka tau sosok yang lolos itu nanti akan memberikan dampak positif dan signifikan terhadap stimulus perekonomian Aceh secara makro- ekonomi," tegas Taufiq.
Selain itu, sosok yang diangkat nanti dari hasil tes yang jujur, tentu akan dia mampu mendorong pertumbuhan ekonomi dan produktivitas masyarakat Aceh dan atau khususnya Sabang. Tetapi jika seleksi hanya sekedar formalitas dan yang diperlihatkan kepada publik seolah-olah seleksinya jujur, transparan dan mengikuti aturan. Padahal hakikinya orang yang akan diangkat menjadi Kepala BPKS sudah dipersiapkan dan disimpan dulu, baru kemudian diumumkan bahwa yang bersangkutan diangkat menjadi pejabat sah dilembaga tersebut.
"Bila itu yang terjadi, maka ini jelas-jelas pembohongan publik dan mempermainkan penilaian jujur masyarakat Aceh terhadap pemerintah Aceh selama ini," kata Taufiq.
Apalagi tambahnya, keberadaan BPKS untuk mengelola kawasan sejak kawasan ini mulai dibangun tahun 2000 sampai dengan saat ini telah menghabiskan dana sekitar Rp 4 - 5 trilyun. Dengan dana yang besar masyarakat berharap BPKS mampu menghidupkan pelabuhan dengan berbagai aktivitas perdagangan dan ekonomi Sabang
"Jadi sudah cukuplah mempermainkan kawasan itu dan BPKS sebagai "kue pembangunan aceh" yang harus dikaplen-kapleng atau dijadikan sebagai ladang memperbanyak pundi-pundi elite Aceh," tegasnya.
Dikatakan, sesungguhnya saat ini masyarakat juga sudah banyak tahu tentang "hiddens agenda" elite Aceh, meskipun ditutupi dengan berbagai retorika, diksi dan pernyataan yang manis-manis ke publik Aceh.
"Nah, begitu juga terhadap penggunaan dana publik, rakyat tau bahwa semua itu untuk kepentingan pembangunan prasarana dan sarana publik, namun itu juga menjadi lahan permainan orang dan kelompok tertentu pada level elite Aceh," ungkap dosen Unmuha Banda Aceh ini.
Komentar